Masalah Izin Berau Coal: Masyarakat Menolak, Pemerintah Bimbang

TANJUNG REDEB, Borneo Post – Polemik terkait perpanjangan izin operasi PT Berau Coal (BC) terus bergulir. Sejumlah pihak disebut menolak, bahkan meminta agar izin perusahaan batu bara terbesar di Berau itu tidak diperpanjang.
Namun, Ketua Komisi III DPRD Berau, Liliansyah, mengingatkan agar permasalahan ini disikapi dengan bijak, mengingat dampak yang bisa timbul jika perusahaan tersebut berhenti beroperasi.

“Memang ada sebagian masyarakat dan pihak lain yang menolak atau meminta penundaan perpanjangan izin PT Berau Coal, itu sah-sah saja. Tapi sebagai wakil rakyat, saya melihat ini harus dipertimbangkan dengan matang, karena Berau Coal merupakan objek vital yang sangat dijaga oleh negara,” ujarnya

Menurut Liliansyah, PT Berau Coal merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi keuangan negara, terutama melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor pertambangan di Kalimantan Timur. Tahun ini saja, kontribusi DBH dari sektor tersebut mencapai Rp 52 triliun untuk Kaltim.

“Kita harus berpikir panjang. Jika investasi sebesar ini terganggu, dampaknya bisa luar biasa. Saya ingat saat Kiani Kertas berhenti beroperasi, masyarakat yang bergantung pada perusahaan tersebut sangat terdampak,” ungkapnya.

Selain itu, ia menyoroti efek domino yang ditimbulkan, mulai dari sektor transportasi, penyediaan kebutuhan pokok, hingga usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang menggantungkan ekonomi mereka pada keberadaan perusahaan tambang tersebut.

“Pemerintah daerah selalu berusaha menarik investor untuk membangun daerah. Kalau dia (Berau Coal, red) berhenti, apa ada jaminan bahwa pengganti itu bisa memberikan manfaat yang sama besar?” katanya.

Dampak lain yang perlu dipertimbangkan lanjut Liliansyah, adalah pasokan energi. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Berau saat ini bergantung pada suplai batu bara dari Berau Coal. Jika operasional perusahaan terganggu, maka pasokan energi juga bisa terdampak.

“Soal izin memang wewenang Pemerintah Pusat. Kita di daerah hanya bisa memberikan masukan jika ada yang perlu diperbaiki, seperti transparansi perusahaan, program Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL). Jika izin diperpanjang, harus ada asas manfaat yang nyata bagi masyarakat,” tegasnya.

Liliansyah juga mengapresiasi mahasiswa dan masyarakat yang telah menyuarakan pendapat mereka terkait polemik ini.

Namun dia mengingatkan bahwa segala keputusan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang, terutama terhadap kesejahteraan masyarakat dan stabilitas ekonomi daerah.

“Saya menghormati aspirasi yang disampaikan masyarakat dan mahasiswa. Tapi kita juga harus realistis dan menghitung dampaknya ke depan,” katanya.

Ia pun berharap agar pemerintah pusat dapat lebih memperhatikan alokasi DBH untuk daerah penghasil tambang seperti Berau.

“Saat ini, sistem bagi hasil masih belum menguntungkan daerah. Dari Rp 400 triliun yang masuk, hanya sekitar Rp 52 triliun yang kembali ke Kalimantan Timur. Ini harus kita perjuangkan agar daerah mendapatkan porsi yang lebih besar,” ujarnya.

Liliansyah menegaskan bahwa dirinya tidak dalam posisi mendukung atau menolak perpanjangan izin, tetapi ingin memberikan gambaran agar keputusan yang diambil tidak disesali di kemudian hari.

“Saya bukan juga menolak (aksi, red), saya hanya memberikan gambaran agar tidak menyesal di kemudian hari. Kita hormati masyarakat dan mahasiswa yang menyuarakan, tetapi kita juga harus perhitungkan dampaknya ke depan,” tukasnya.(ADV).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *