Berau, BorneoPost – Pemerintah Kabupaten Berau terus mendorong diversifikasi ekonomi di tengah ketergantungan daerah terhadap industri batu bara yang kian disorot akibat dampak lingkungan dan ketidakstabilan harga global. Melalui program Business Matching, Pembiayaan, Edukasi, dan Literasi (BIMA Etam) yang kini memasuki seri kelima, Pemkab Berau menyalurkan pembiayaan sebesar Rp11,4 miliar kepada 149 pelaku UMKM lokal sebagai bagian dari strategi jangka panjang membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.
Skema pembiayaan bervariasi antara Rp50 juta hingga ratusan juta rupiah, menyasar sektor pertanian, perikanan, dan pariwisata—tiga sektor yang dianggap sebagai fondasi ekonomi alternatif pasca tambang.
“Kami mengembangkan UMKM bukan hanya sebagai pengganti pertambangan, tapi juga sebagai penopang utama sektor pariwisata unggulan,” kata Sekretaris Daerah Berau, Muhammad Said, dalam sambutan resminya.
Namun, di balik optimisme tersebut, tantangan struktural masih mengemuka, mulai dari rendahnya literasi keuangan pelaku UMKM hingga minimnya konektivitas digital di beberapa kecamatan. Untuk itu, Pemkab Berau melengkapi program ini dengan pelatihan penyusunan laporan keuangan (neraca, arus kas, laba-rugi), serta pengenalan teknologi finansial seperti QRIS dan sistem transfer digital.
Di tingkat kebijakan, Pemkab Berau juga mendorong legalisasi usaha melalui sistem Online Single Submission (OSS)guna memperkuat basis data dan mempermudah akses terhadap bantuan pemerintah maupun lembaga keuangan. BIMA Etam menghubungkan pelaku UMKM dengan berbagai institusi pembiayaan, baik konvensional, syariah, maupun non-bank seperti Pegadaian. Langkah ini dianggap penting untuk mengatasi asimetri informasi yang selama ini menjadi penghambat utama permodalan UMKM.
“Kami tidak hanya mendorong pembiayaan, tetapi juga transformasi fundamental agar pelaku usaha naik kelas,” ujar Said.
Sebagai bentuk pendekatan inklusif, pemerintah daerah turut mengikutsertakan pelaku UMKM dalam program BPJS Ketenagakerjaan sebagai jaminan sosial minimum bagi pekerja informal. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa penguatan ekonomi lokal tidak bisa dilepaskan dari perlindungan tenaga kerja.
Meski demikian, pengamat menilai keberhasilan program ini masih sangat bergantung pada konsistensi implementasi, pengawasan penggunaan dana, serta kolaborasi lintas sektor. Tanpa perbaikan tata kelola dan infrastruktur penunjang, transformasi ekonomi berbasis UMKM dikhawatirkan hanya menjadi slogan tanpa dampak riil.
Langkah diversifikasi ekonomi Berau ini patut dicermati lebih lanjut, terutama dalam konteks transisi energi dan tekanan global terhadap industri ekstraktif. Jika berhasil, Berau bisa menjadi contoh bagaimana daerah tambang bertransformasi menuju ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
“Kami sadar bahwa masa depan ekonomi Berau tidak bisa lagi bertumpu pada komoditas yang tidak terbarukan. UMKM adalah jalan menuju kemandirian ekonomi rakyat dan ketahanan sosial jangka panjang,” tutup Muhammad Said.