Warga Merancang Ulu Tersisih di Tanah Sendiri: Lamaran Menumpuk, Pekerja Luar Melenggang

BERAU, BorneoPost – Ketidakadilan perekrutan tenaga kerja di lingkar tambang Kampung Merancang Ulu, Kecamatan Gunung Tabur, kian menyeruak. Ratusan lamaran warga lokal menumpuk tanpa kepastian, sementara pekerja dari luar kampung dengan mudah melenggang masuk. Warga pun merasa seperti “tamu di rumah sendiri” di tanah kelahirannya.

Kekecewaan masyarakat pertama kali mencuat lewat unggahan media sosial seorang pemuda kampung yang menyoroti sulitnya mendapatkan informasi lowongan kerja dari perusahaan tambang. Keluhannya langsung viral, memantik gelombang kritik keras.

“Info lowongannya seperti cari harta karun. Perusahaan ada di kampung kita, tapi yang diterima orang luar,” tulis akun tersebut. Komentar dukungan pun membanjiri unggahan itu, mulai dari sindiran soal status “ring satu” yang hanya kebagian debu, hingga ejekan “ordal semakin di depan.”

Keluhan itu bukan isapan jempol. Warga yang ditemui BorneoPost mengaku telah mengirimkan lamaran berbulan-bulan, namun tak kunjung mendapat panggilan, bahkan sekadar wawancara.

“Kalau memang sistemnya harus lewat LPM, kenapa orang luar bisa masuk mulus? Di sini banyak eks karyawan tambang yang berpengalaman, tapi kami malah dipinggirkan,” ucap seorang warga, menahan kecewa.

Ketua Karang Taruna Kampung Merancang Ulu, Ahmad Fauzi, bahkan menuding sistem rekrutmen perusahaan terlalu tertutup dan diskriminatif. Menurutnya, Karang Taruna yang seharusnya dilibatkan dalam menjembatani tenaga kerja lokal justru diabaikan.

“Kami pernah membawa lamaran, tapi ditolak. Alasannya harus lewat satu pintu, LPM. Padahal Karang Taruna punya mandat jelas membantu pemerintah kampung dalam mengatasi pengangguran. Kalau sistemnya seperti ini, warga hanya jadi penonton di kampung sendiri,” tegasnya.

Fauzi juga menyoroti kuota penerimaan yang tidak pernah diumumkan secara terbuka. “Kita tidak tahu posisi apa yang dibuka, siapa yang diterima. Semuanya gelap. Ini hanya memperlebar jurang ketidakpercayaan,” ujarnya.

Persoalan kian rumit dengan adanya kebijakan batas usia pelamar di bawah 38 tahun, yang otomatis menutup pintu bagi banyak warga berpengalaman.

Tak hanya soal tenaga kerja, warga juga mengeluhkan dampak aktivitas perusahaan yang seenaknya memarkir kendaraan di jalan umum hingga merusak akses pasar. “Kami sudah dirugikan karena tidak diterima kerja, masih ditambah susah jalan ke pasar,” keluh warga lain.

Saat dimintai keterangan, Kepala Kampung Merancang Ulu memilih bungkam dan mengarahkan media ke LPM. Sekretaris LPM, Yasir Hidayat, mengakui ada penumpukan lamaran: 150 masih tertahan, hanya sekitar 50 yang diteruskan ke perusahaan.

“Kami tetap memprioritaskan warga, tapi tidak semua bisa diakomodir. Tenaga kerja dari luar itu masuk lewat Disnakertrans, kami tidak bisa melarang,” katanya.

Pernyataan itu justru mempertegas dugaan warga bahwa jalur perekrutan tidak transparan. Warga lokal dipersulit dengan administrasi dan aturan usia, sementara pekerja luar justru bisa leluasa masuk dengan dalih prosedur resmi.

Hingga kini, polemik tenaga kerja di lingkar tambang Merancang Ulu masih menggantung. Perusahaan berlindung di balik aturan, LPM berdalih keterbatasan, sementara warga terus merasa diperlakukan tidak adil.

Jika pemerintah daerah, khususnya Disnakertrans Berau, tidak segera turun tangan, keresahan ini berpotensi menjadi bara sosial yang lebih besar. Sebab, persoalan ini bukan sekadar soal pekerjaan, melainkan soal harga diri masyarakat yang merasa terpinggirkan di tanah sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *