Catatan Perjalanan Umrah Gelombang III PT PMB dan PT PASN Berau (5): Mata Berkaca-kaca saat Pertama Menatap Ka’bah

Rasa tak percaya masih tersirat dari raut wajah para jemaah. Khususnya yang memang baru pertama kali bisa menatap langsung ka’bah, kiblat umat muslim dalam beribadah

YUDHI PERDANA, Makkah

WAKTU di Makkah sudah menunjukkan pukul 23.00 pada Rabu (8/3) lalu. Rombongan jemaah umrah gelombang III PT Prima Mas Berau (PMB) dan PT Prima Anugerah Sejahtera Nusantara (PASN) bersama Arminareka Perdana, sudah bersiap turun dari lobi hotel menuju Masjidil Haram. Guna melaksanakan ibadah umrah.

Jemaah sudah dibagi menjadi tiga kelompok, sesuai nomor rombongan masing-masing. Tiga orang muthawif juga sudah siap mendampingi.

Beberapa jemaah lanjut usia yang menggunakan jasa petugas kursi roda, tak perlu ikut bergabung dalam rombongan. Mereka hanya perlu menunggu di depan kamar masing-masing, karena petugas yang akan datang menjemput.

Ali, jadi salah satu jemaah yang memilih untuk menggunakan kursi roda. Karena dirinya khawatir, penyakit asma yang dideritanya kambuh jika dirinya kelelahan dalam melaksanakan tawaf maupun sa’i.

Ya, selain harus tawaf mengelilingi ka’bah sebanyak 7 kali, sa’i yang dilakukan dengan berjalan kaki bolak-balik 7 kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah sepanjang 405 meter, memang membutuhkan ketahanan fisik yang prima. “Soalnya waktu di Madinah, sempat kumat (asma, red). Kalau sehat-sehat aja, masih kuat sebenarnya,” ungkap Ali, jemaah yang turut diberangkatkan PT PMB dan PT PASN.

Menggunakan kursi roda yang dibantu petugas, waktu pelaksanaan ibadah umrah bagi jemaah tersebut jauh lebih singkat. Hanya berkisar 60 menit, prosesi umrah bisa dituntaskan. “Karena kami tawafnya di atas. Tidak terlalu ramai jemaahnya, jadi lebih cepat,” akunya.

Sementara bagi rombongan jemaah lain, prosesi umrah membutuhkan waktu antara 3 sampai 4 jam. Namun tak sedikitpun terbesit rasa lelah, apalagi kejenuhan setiap tahapan ibadah dituntaskan.

Bagi beberapa yang baru pertama mendapat rezeki memenuhi panggilan Allah SWT ke Baitullah, matanya langsung berkaca-kaca. Ketika baru menuruni anak tangga Masjidil Haram menuju mataf, dan langsung menatap kakbah.

“Allahumma antas salam, wa minkas salam, fa hayyaina rabbana bis salam,” ujar Rohli, muthawif yang mendampingi jemaah rombongan bus 85, membacakan doa ketika melihat ka’bah, dan langsung diikuti seluruh jemaah.

Seluruh jemaah pun melaksanakan tawaf mengelilingi ka’bah. Tujuh putaran harus dilalui dari jarak yang agak jauh dari ka’bah. Karena walau sudah masuk tengah malam, mataf masih dipadati jutaan jemaah dari berbagai negara.

Prosesi tawaf pun dituntaskan. Masing-masing jemaah langsung diarahkan untuk mencari ruang guna menunaikan salat sunah usai tawaf, sebelum bersama-sama memulai sa’i dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah.

Total sepanjang 2,8 kilometer jarak yang harus ditempuh jemaah dengan berjalan kaki selama sa’i. Tapi jemaah tak perlu khawatir bakal kehausan. Sebab di beberapa titik antara Bukit Shafa dan Marwah, tersedia air zamzam. Air yang sumbernya tidak pernah kering, yang merupakan sejarah dari sa’i, rukun umrah dan haji.

Di salah satu pintu Masjidil Haram di Bukit Marwah, dua anak perempuan yang bercadar langsung mendatangi rombongan jemaah. Dengan Bahasa Indonesia yang terbatah-batah, keduanya menyodorkan gunting kecil yang bisa digunakan jemaah untuk tahallul atau memotong rambut usai sa’i. Ini juga menjadi salah satu rukun umrah dan haji.

Tanpa banyak tanya, salah satu jemaah langsung mengambil gunting kecil yang ditawarkan, yang secara bergantian digunakan untuk memotong rambut para jemaah. Betapa kagetnya, ketika hendak mengembalikan gunting kecil tersebut, kedua anak perempuan itu lantas meminta bayaran. “20 riyal,” ujar salah satu anak perempuan itu.

Salah satu jemaah beralasan, dirinya tidak bisa membayar karena tidak membawa uang karena tengah berihram. “10 riyal saja,” timpal jemaah lainnya menawar harga penggunaan gunting.

Namun salah satu jemaah yang kebetulan menyelipkan uang riyal di saku yang ada pada ikat pinggang ihramnya, langsung membayar biaya penggunaan gunting tersebut sebesar 20 riyal kepada anak tersebut.

“Sudahlah, ikhlas saja. Namanya pengalaman pertama,” ujar jemaah yang membayar biaya penggunaan gunting.

Prosesi umrah pun telah dituntaskan. Jemaah langsung diarahkan menuju hotel untuk beristirahat. Namun belum jauh dari pelataran masjid, jemaah langsung dihampiri beberapa orang yang menawarkan jasa potong rambut menggunakan Bahasa Indonesia. “Botak, 10 riyal,” terang orang yang menghampiri jemaah untuk menawarkan jasa cukur rambut.

Mendengar tawaran itu, jemaah-jemaah laki-laki langsung mengiyakan. “Lebih mahal bayar gunting tadi,” ujar Gufron, jemaah umrah dari rombongan bus 85.

Ahli Isap Langsung Cari Tempat

Bukannya memilih beristirahat setelah menyelesaikan ibadah umrah, beberapa jemaah laki-laki yang perokok langsung menuju ke sudut-sudut bangunan yang seperti menjadi pusat tempat cukur.

“Sebatang dulu wal, dari Madinah tadi belum ada isap,” ujar Hendra, jemaah umrah asal Gunung Tabur.

Bukan sebatang seperti yang dikatakan. Setelah mendapatkan tempat untuk menghilangkan ‘asam mulut’ dua sampai tiga batang rokok pun dihabiskan. Sambil mengisahkan pengalaman ibadah yang baru saja dilaksanakan.

“Besok (Kamis siang, red), kita tawaf lagi. Kita coba sampai ke ka’bah,” ajak Hendra, sembari berjalan menuju hotel. (*/bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *