BERAU, BorneoPost – Rencana pemerintah pusat untuk memangkas dana transfer ke daerah hingga 50 persen mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Di Kabupaten Berau, Ketua DPRD, Dedy Okto Nooryanto, menegaskan bahwa kebijakan tersebut berpotensi memberikan dampak besar terhadap keberlangsungan pembangunan daerah.
Menurut Dedy, ketergantungan keuangan daerah terhadap dana transfer pusat saat ini masih sangat tinggi. Dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Berau, sekitar 60 persen bersumber dari dana transfer. Sementara kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih terbilang kecil.
“Kalau sampai pemotongan dana transfer ini benar-benar direalisasikan, daerah akan sangat tertekan. Karena PAD kita masih jauh dari mencukupi kebutuhan belanja pembangunan,” ujar Dedy, Jumat (19/9).
Ia mencontohkan, Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima Berau saat ini mencapai sekitar Rp2,1 triliun. Jumlah itu sangat kontras jika dibandingkan dengan PAD daerah yang hanya berada di kisaran Rp400 miliar. Perbedaan signifikan ini, kata Dedy, membuktikan betapa dominannya ketergantungan Berau terhadap transfer pusat.
Meski demikian, ia menekankan agar pemerintah daerah tidak hanya bersikap pasif menunggu kepastian kebijakan. Menurutnya, langkah proaktif perlu dilakukan, terutama dalam membangun komunikasi dengan pemerintah pusat.
“Jangan hanya menunggu. Kita harus memperjuangkan kepentingan daerah, karena dampak pemotongan ini bukan hanya soal pembangunan, tetapi juga menyangkut pelayanan publik kepada masyarakat,” tambahnya.
Dedy juga mendorong pemerintah daerah untuk mulai serius mencari terobosan dalam meningkatkan PAD. Sektor-sektor potensial seperti pariwisata, pertambangan, perkebunan, dan perikanan dinilai masih memiliki ruang untuk digarap lebih maksimal.
“Kemandirian fiskal daerah harus menjadi prioritas. Kalau kita terlalu bergantung pada pusat, setiap ada perubahan kebijakan pasti membuat kita goyah,” tegasnya.
Wacana pemotongan dana transfer pusat hingga 50 persen ini tengah menjadi perbincangan hangat di berbagai daerah di Indonesia. Pemerintah pusat beralasan langkah tersebut diperlukan untuk efisiensi anggaran serta mendorong kemandirian fiskal daerah. Namun, sejumlah kepala daerah dan legislatif khawatir kebijakan ini justru akan menghambat pembangunan dan menurunkan kualitas layanan kepada masyarakat.