BERAU, Borneo Post – Wacana penggabungan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Berau (STIPER Berau) ke Universitas Muhammadiyah Berau (UMB) menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi dan alumni. Salah satunya datang dari Mahamuddin, mantan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa STIPER Berau (BEM KM-STIPER Berau) periode 2012–2013, yang secara tegas menyayangkan proses merger yang dinilainya tidak transparan dan terkesan dipaksakan.
STIPER Berau yang berdiri pada tahun akademik 2003/2004 berdasarkan SK Mendiknas RI Nomor: 115/D/O/2004 tanggal 9 Agustus 2004, merupakan Perguruan Tinggi Swasta yang bernaung di bawah Yayasan Kharisma Mandiri dan memiliki visi menjadi perguruan tinggi unggul dalam pengembangan teknologi pertanian tadah hujan dan kewirausahaan agribisnis di Kalimantan Timur. Dengan dua program studi unggulan—Agroteknologi dan Agribisnis—kampus ini telah menjadi bagian penting dalam mencetak sumber daya manusia pertanian di wilayah Berau.
Namun, sejak April 2024, isu merger STIPER dengan UMB mulai berhembus. Ironisnya, hingga pertengahan Juni 2025, belum ada satu pun pernyataan resmi dari pihak yayasan maupun Ketua STIPER Berau terkait arah dan maksud dari wacana merger tersebut.

Proses yang Tertutup dan Minim Partisipasi, Menurut Mahamuddin, proses pembahasan merger seharusnya melibatkan seluruh unsur civitas akademika, termasuk dosen, mahasiswa, alumni, dan mitra kerja. “Sampai hari ini, belum pernah ada rapat terbuka yang melibatkan seluruh pihak terkait. Tidak ada transparansi, bahkan terkesan ditutup-tutupi oleh Ketua STIPER,” tegasnya.
Hal tersebut diperkuat dengan pengakuan dosen dan mahasiswa yang hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Berau pada 16 Juni 2025 lalu. Dalam forum tersebut, Ketua STIPER Berau, Ardiansyah, menyebut bahwa proses merger sudah mencapai 90% dan telah disepakati seluruh civitas akademika. Namun pernyataan itu langsung dibantah oleh peserta yang hadir, menegaskan bahwa belum ada kesepakatan formal ataupun diskusi akademik yang digelar terkait merger tersebut.
Indikasi Kepentingan Tersembunyi? Mahamuddin mengaku khawatir bahwa proses merger ini hanyalah kedok dari sebuah transaksi jual beli institusi pendidikan. “Saya menduga ini bukan merger, tapi ada indikasi kuat terjadinya jual beli perguruan tinggi. Sangat disayangkan, jika aset hibah dari Pemkab Berau yang diperuntukkan bagi kepentingan sosial, justru dijadikan komoditas untuk keuntungan segelintir pihak,” ungkapnya.
Kritik ini muncul bukan tanpa dasar. Dalam peraturan yang berlaku, yakni Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020, disebutkan bahwa merger bisa dilakukan apabila sebuah perguruan tinggi mengalami krisis keuangan, melakukan pelanggaran berat, atau terancam pencabutan izin operasional. Namun menurut penilaian dosen dan mahasiswa, kondisi keuangan STIPER Berau dalam kategori sehat, pelaporan akademik ke PDDikti berjalan lancar, dan tidak pernah tercatat dalam daftar sanksi administratif.
Yang lebih mencurigakan, keputusan tidak menerima mahasiswa baru untuk tahun ajaran 2024 dinilai sebagai langkah disengaja guna menjustifikasi perlunya merger. “Ardiansyah sendiri yang melarang adanya penerimaan mahasiswa baru, seolah ingin menciptakan kesan bahwa STIPER dalam kondisi darurat,” imbuh Mahamuddin.
Masa Depan Mahasiswa dan Dosen Dipertaruhkan, Lebih lanjut, Mahamuddin juga menyoroti potensi dampak merger terhadap mahasiswa aktif maupun dosen yang sedang meniti karier akademik. “Jangan sampai mahasiswa jadi korban hanya karena keputusan sepihak. Bagaimana dengan nasib SPP? Apakah akan naik? Apakah semua mahasiswa mampu? Kalau tidak mampu, mereka terpaksa berhenti kuliah? Bagaimana dengan dosen yang sedang mengurus kenaikan jabatan dan kepangkatan akademik mereka?” tegasnya.

Ia juga menggarisbawahi bahwa STIPER bukan sekadar institusi pendidikan, melainkan rumah besar dengan ikatan kekeluargaan yang telah terbentuk selama dua dekade lebih. “Ada sejarah, ada perjuangan, dan ada niat baik dari para pendiri yang ingin membangun pertanian lokal melalui pendidikan. Sayang jika semua itu dirusak di akhir masa jabatan hanya karena ambisi atau kepentingan tersembunyi,” tutup Mahamuddin.
Menunggu Kejelasan dan Transparansi, Seiring makin menguatnya penolakan dari civitas akademika, masyarakat akademik Berau kini menanti sikap tegas dari Yayasan Kharisma Mandiri dan pemerintah daerah sebagai pihak yang telah memberikan hibah lahan bagi STIPER. Apakah merger ini benar-benar untuk penyelamatan institusi, atau sekadar menjadi pintu masuk kepentingan bisnis terselubung?
Dalam era di mana transparansi dan akuntabilitas publik menjadi tuntutan utama, langkah yang tertutup, sepihak, dan mengabaikan partisipasi pemangku kepentingan jelas tidak bisa dibenarkan. Jika STIPER Berau memang hendak di-merger atau dijual, maka proses tersebut harus melalui jalur legal, partisipatif, dan etis, bukan justru mengorbankan masa depan mahasiswa dan idealisme pendidikan.