TANJUNG REDEB, Borneo Post – Sebagian warga mengenalnya dengan nama Madri Pani, namun di keluarganya dia memiliki panggilan Pay. Itu merupakan panggilan masa kecilnya. Masa kecil yang dihiasi kerja keras, mulai berjualan kue, es lilin, pengangkat kayu, hingga pramusaji.
Madri lahir di Kampung Samburakat, Gunung Tabur pada 3 Maret 1972, terlahir bukan dari keluarga dengan ekonomi atas.
Kerasnya kehidupan, tidak menyurutkan niatnya menempuh pendidikan. “Saya ya begini saja dari dulu. Tidak ada berubah sama sekali,” katanya.
Saat kecil, Madri harus rela kehilangan waktu bermain bersama teman-teman di SD 003 Samburakat, sebab sepulang sekolah dia harus berjualan kue yang ia dapat dari Halijah (Ijang) warga RT 2 Kampung Samburakat, untuk membantu orangtua, menyisihkan sebagian keuntungan penjualan untuk bekal sekolah.
Tahun 1986, dia lulus sekolah dasar dan melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 1 Gunung Tabur. Terbiasa berjualan dari kecil, ia kembali meneruskannya dengan berjualan es lilin, kayu bakar, dan rotan. Ia mendapatkan hal tersebut dari seseorang bernama Asmaran.
“Yang terpenting bisa tetap bersekolah, membantu orangtua, saya bukan orang berada,” katanya.
Anak kedua dari delapan bersaudara ini tidak menenggelamkan mimpinya menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat lainnya. Setelah lulus SMP, ia pergi ke Tanjung Redeb, menumpang di rumah iparnya di Jalan Dr Soetomo, Kelurahan Bugis. Di situ dia tentu tidak berleha-leha, di waktu subuh dia sudah bangun memasak air, mengisi termos, hingga pukul 06.45 Wita dia baru bergegas mandi menuju ke sekolahnya yakni di SMEA 1 Berau (seka-rang SMKN 1 Berau, red). Dikenal sebagai sosok nakal, namun setia kawan. Tidak sedikit yang berteman dengan Madri Pani.
Mulai dari anak pejabat hingga orang biasa, perangainya yang hobi bergaul dan tidak pandang bulu dalam berteman, membuatnya dengan mudah mencari teman di Tanjung Redeb. “Saya SMA itu suka terlambat, manjat pagar, tapi itukan masa lalu,” ucapnya tertawa.
Ia bersyukur, sang ibu menyisihkan hasil penjualannya sejak SD dan SMP untuk tabungannya di masa depan. Sewaktu SMA, dengan dompet lusuh, ibunya membawanya ke pasar membeli seragam sekolah, sepatu, dan buku. Sosok ibu yang membuat Madri Pani menolak untuk menyerah, dan menghapus kata tersebut dari kamus hidupnya.
Ia masih ingat jelas sosok ipar yang menolongnya sewaktu SMA, yakni Yusuf, seorang veteran perang yang tinggal di samping BPD lama. “Dia yang membantu mencari pekerjaan buat saya sewaktu SMA dulu, sebatai pramusaji di Kafe Lapauta, lokasinya di Dr Soetomo situ,” paparnya.
Dia pertama kali menjabat sebagai Kepala Kampung Gurimbang pada 24 Februari 2011. Tidak butuh waktu lama, inovasi, kerja keras, berhasil membawa dirinya menjadi 3 besar kepala kampung terbaik pada tahun 2012. Berselang dua tahun, dia kembali menyabet juara 1 kepala kampung terbaik di Berau, dan mewakili Berau, berlaga di Kaltim.
Di tengah minimnya akses pada saat itu, Madri berhasil membuktikan Gurimbang layak diperhitungkan, dari 8 ribu lebih kampung di Kaltim, nama Gurimbang muncul menjadi terbaik 1 dan mewakili Kaltim, tingkat nasional, hingga tahun 2015 dia berhadapan langsung dengan Presiden RI, Joko Widodo, setelah menyabet juara 1 kepala desa terbaik se-Indonesia. “Dari jamban menuju istana,” tambahnya.
Di balik kesuksesannya membawa Gurimbang menyabet peringkat satu tersebut, ada kisah sedih yang dia alami, dia membuat tekad dan egonya berkelahi hebat. Di satu sisi, kebiasaan masyarakat membuang air besar di sungai sudah menjadi kebiasaan, di sisi lain kondisi kesehatan warga yang fokus utamanya.
Perlahan namun pasti, Madri mulai duduk dengan warga, mulai “memaksa” warga untuk buang air besar di rumah, dan dijanjikan akan dibuatkan kamar mandi dengan dilengkapi kloset jongkok.
Tidak banyak yang tahu, ada satu balita yang meninggal dunia akibat difteri di kampung tersebut, ia membutuhkan waktu satu tahun menyadarkan warga. Hasil pemeriksaan kasat mata seorang Madri Pani, membuat ia berani menyatakan ‘perang’ terhadap warga yang masih buang air di sungai.
Kondisi pasang surut sungai, rumah panggung, menyebabkan kelembapan cukup tinggi, di bawah rumah warga kerap tergenang. Menimbulkan berbagai penyakit.
“Saya gagal menolong satu nyawa balita, itu yang membuat saya berani putuskan harus ada perubahan. Jika kebiasaan warga tidak diubah, saya harus kehilangan warga saya lagi,” ucapnya terisak.
Dengan gerak cepat, warga yang sudah dibangunkan kamar mandi, jamban atau lanting warga dirobohkan, bekerja sama dengan camat dan aparat keamanan. Lobi-lobi mulai dilakukan, perusaahan Berau Coal menjadi target utama, untuk menggelontorkan anggaran Coorporate Social Responsibility (CSR) guna membantu membangun kamar mandi.
Berau Coal sigap bergerak, melakukan perhitungan, sebanyak 40 kamar mandi dilengkapi dengan kloset berhasil dibangun. Perubahan perlahan dirasakan warga, yang sebelumnya warga harus keluar rumah untuk mandi, mencuci dan buang air, kini mulai terbiasa melakukan aktivitas tersebut di rumah masing-masing. Pembenahan tata kampung dilakukan, penanaman tanaman obat juga dilakukan serentak. Hingga pada tahun 2016 kampung tersebut didapuk menjadi pilot project kampung sehat dan maju.
“Kalau tidak berani, tidak usah memimpin, saya berani karena benar dan untuk perubahan,” ucapnya.
Masterplan pembangunan dibagikan dan ditempel olehnya, warga yang hendak membangun rumah wajib mengikuti masterplan tersebut. Terdengar otoriter, namun manfaatnya sangat dirasakan warga, penataan rapi pembangunan kini dinikmati oleh warga.
Ada dua program yang dijalankan, yakni jamban sehat dan pupuk kompos terbaik. Dan bekerja sama dengan PT Berau Coal. Menghidupkan lahan tidur, bahkan ia rela meminjam uang kas desa untuk membantu masyarakat.
“Agar lahan tidur tersebut bisa bermanfaat dan menghasilkan ekonomi bagi masyarakat. Beasiswa untuk anak sekolah SD/SMP dan berkolaborasi dengan PT Berau Coal,” ujarnya.
Di periode kedua menjabat kepala kampung, ia merasa sudah tidak ada tantangan. 3 bulan menjabat kepala kampung, pada tahun 2018 ia memutuskan mengundurkan diri, dan dipinang oleh NasDem. Dengan membawa surat pengunduran diri, ia menghadap bupati Berau saat itu.
Ia yakin dan mantap untuk maju pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 lalu. Memasuki dunia politik, ia ditempatkan di daerah pemilihan (Dapil 4). Bersaing dengan orang lama di DPRD Berau, ia yang sosok baru awalnya diremehkan, terlebih latar belakangnya hanya seorang kepala kampung. Siapa yang kenal. Usai pemilihan, suaranya tertinggi di dapil 4 yakni 2.700 suara dan berhasil mengantarkan dia duduk menjadi ketua DPRD Berau, periode 2019-2024.
“Rasa cinta terhadap kampung, tugas memperjuangkan hanya satu kampung, sudah dianggap tuntas, baik tata kelola keuangan hingga penataan desa, hingga saya harus buat perubahan untuk Berau,” tegasnya.
Ayah dari Athaillah El Rumi tersebut mengaku, dirinya masuk ke lembaga tersebut, ingin memberikan warga bagi DPRD. Pembenahan kampung-kampung yang ada di dapilnya, menjadi pekerjaan rumah bagi dirinya. Diakuinya, di awal berpolitik dia diperintahkan masuk Gerindra, tetapi dalam perjalanan ditawari menjadi anggota NasDem. Dari DPD Gerindra sendiri belum pernah menawari secara langsung kepada dirinya.
Perjalanan menuju kursi DPRD tidaklah mudah, di awal masa kampanye dia harus terbaring sakit selama tiga bulan di rumah sakit bedah Surabaya. Gagal ginjal membuat ia harus merelakan masa kampanye dengan terbaring lemah. Ia hanya berkoordinasi melalui pesan singkat dengan para warga yang sudah mengenalnya. Berharap keajaiban tuhan, terus memanjatkan doa, dan meminta restu dari orangtuanya.
“Saya pasrah saat itu, hanya bisa berdoa ternyata Allah punya jalan sendiri, dan masyarakat memberikan saya amanah menjadi ketua DPRD,” katanya.
Madri Pani merupakan seseorang yang dicap pemarah dan memiliki emosi yang suka meledak-ledak tidak takut apapun. Namun sikapnya itu hanya pada momen-momen tertentu saja.
Hal itu terlihat dari ramahnya dia menemui sejumlah warga yang sudah menunggunya di rumah dinasnya di Jalan Ramania. Kehadiran masyarakat di rumah dinas ketua DPRD itu bukan hal yang jarang terjadi semenjak dia menjabat. Madri selalu terbuka bagi warga yang ingin konsultasi atau minta bantuan, tidak pernah dipandang sebalah mata, dilayani bak raja.
Ada ruangan khusus sengaja dibuat khusus warga yang datang. Ruangan dengan lebar 4×5 meter tersebut sudah tersedia meja panjang, puluhan kursi, sebuah televisi LED besar, dan sebuah plakat bertuliskan, Selamat Datang Warga Ku. Ini rumah kita bersama.
Dia selalu dengan seksama mendengar keluh kesah warga yang datang, dia menganggap itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk melayani masyarakat, tidak harus selalu di kantor, tampil klimis, namun dengan berbaju kaos dan di rumah, warga jadi prioritas utamanya.
Madri pun tak memperdulikan anggapan orang tentang dirinya yang dinilai sosok pemarah, dia hanya memegang teguh komitmennya yakni selama berjalan di jalan yang benar dan untuk kepentingan masyarakat, dia tidak akan pernah mundur.
Ia merasa diberi amanah oleh masyarakat yang wajib ia lakukan. Apalagi gaji yang dia terima, fasilitas yang dia dapatkan semua dari pajak rakyat. Karena itu dia merasa berdosa jika tidak berjuang untuk rakyat.
“Saya tidak pernah malu dibilang elit politik pemarah, bedakan pemarah dan ketegasan. Saya harus tegas dan berani adu argumentasi berdasarkan aturan dan perundang-undangan demi masyarakat,” tegasnya.
Dia hanya merasa malu jika masyarakat menganggap dirinya hanya datang, duduk, dan diam, tanpa berjuang untuk masyarakat. “Saya bekerja dan dipilih, digaji oleh rakyat, tentu berjuang untuk masyarakat,” ujarnya.
Dia pun bersyukur pada Pileg 2024-2029, dirinya kembali meraih suara terbanyak yakni 5.116 suara. Ia mengucapkan terima kasih atas kepercayaan masyarakat terhadap dirinya. “Saya tegas, dan masyarakat tahu itu. Jika saya hanya bisa marah tanpa solusi, tidak mungkin suara saya sampai segitu, dan mungkin hanya satu periode saja, saya buktikan lewat kerja dan prestasi,” bebernya.
