Berau Catat Suhu Tertinggi Nasional, BMKG Peringatkan Risiko Kebakaran dan Krisis Air

BERAU, BorneoPost — Suhu udara di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, mencatat rekor tertinggi secara nasional pada Sabtu, 26 Juli 2025. Berdasarkan laporan resmi Stasiun Meteorologi Kelas III Kalimarau, suhu maksimum mencapai 36,4 derajat Celsius angka yang mengkhawatirkan di tengah musim kemarau yang masih berlangsung.

Kepala BMKG Berau, Ade Heryadi, mengungkapkan bahwa lonjakan suhu ini disertai dengan durasi penyinaran matahari yang sangat panjang, yakni selama 11 jam penuh dalam satu hari. “Suhu mencapai 36,4 derajat Celcius, tertinggi di Indonesia, dengan penyinaran matahari selama 11 jam. Ini jelas kondisi yang ekstrem,” ujarnya senin 28/7/2025.

Tak hanya suhu udara yang melonjak, hasil pemantauan satelit menunjukkan adanya 30 titik panas (hotspot) di berbagai wilayah Berau. Menurut Ade, kondisi ini menunjukkan peningkatan suhu permukaan yang signifikan dan berpotensi besar menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama di tengah cuaca kering yang makin berkepanjangan.

“Sudah ada 30 titik panas yang terpantau. Ini bukan hanya angka, tapi peringatan serius akan potensi bencana ekologis,” tegasnya.

BMKG mengeluarkan imbauan tegas kepada masyarakat agar tidak melakukan aktivitas yang dapat memicu kebakaran, termasuk pembakaran sampah terbuka dan pembersihan lahan dengan api.
“Kami minta masyarakat tidak melakukan pembakaran lahan, karena potensi penjalarannya sangat tinggi dalam kondisi kering seperti ini,” tambah Ade.

Selain ancaman kebakaran, suhu ekstrem ini juga membuka potensi terjadinya penurunan ketersediaan air bersih. BMKG mengingatkan pentingnya penghematan penggunaan air tanah sebagai bentuk antisipasi dini.

“Gunakan air dengan bijak, karena kondisi kering bisa membuat cadangan air tanah cepat menyusut,” imbaunya.

Dari sisi kesehatan, warga juga diminta melindungi diri dari paparan sinar matahari langsung saat beraktivitas di luar ruangan. “Gunakan pelindung tubuh saat beraktivitas, terutama siang hari, demi menghindari risiko dehidrasi dan paparan sinar UV berlebihan,” kata Ade.

Lonjakan suhu dan kemunculan hotspot ini menjadi alarm serius bagi pemerintah daerah dan masyarakat. Tanpa langkah cepat dan terkoordinasi, risiko bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan krisis air bersih bisa menjadi kenyataan dalam waktu dekat.
Situasi ini menegaskan pentingnya mitigasi bencana berbasis iklim serta kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan, khususnya di tengah ancaman perubahan iklim global yang semakin nyata.

“Kondisi ini bukan sekadar fenomena alam biasa, tapi peringatan nyata bahwa kita harus lebih serius menjaga lingkungan dan bersiap menghadapi dampak perubahan iklim,” tutup Ade Heryadi.

Exit mobile version