TANJUNG REDEB, borneopost.com – Reses anggota DPRD Berau di Daerah Pemilihannya (Dapil) masing-masing dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat dimulai terhitung sejak Selasa 7 Februari sampai Minggu 12 Februari 2023.
Ketua DPRD Berau, Madri Pani pada hari pertama resesnya, Selasa (7/2/2023), memilih menyerap aspirasi konstituennya di Kampung Suaran, Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau yang terletak 40-an kilometer dari pusat kota Tanjung Redeb.
Selama reses di kampung itu, Madri mendengar banyak keluhan dan aspirasi warga serta aneka pertanyaan terkait keberadaan dan geliat Pemerintah Kabupaten Berau dan pihak ketiga, khususnya investor atau pengusaha tambang yang menjalankan usaha tambangnya di wilayah itu.
Dari mulut warga terdengar beberapa masalah pokok yang menjadi keluhan mereka selama ini. Masalah-masalah itu yakni jalan usaha pertanian dan perkebunan, akses jalan menuju fasilitas pendidikan dan jaringan listrik, serta pembangunan gedung gereja, di samping sarana prasarana olahraga dan bantuan sosial lainnya.
Menanggapi aspirasi dan keluhan warga tersebut, Madri menegaskan bahwa keluhan warga tentu berangkat dari kenyataan bahwa selama ini tidak ada tindak lanjut yang dilakukan oleh pemda meskipun berbagai Musrenbang terus dilaksanakan setiap tahun pada berbagai tingkatannya.
“Kalau sudah ditindaklanjuti maka pasti tidak disuarakan masyarakat,” ungkapnya.
Pertama, terkait jalan usaha pertanian dan perkebunan. Jalan usaha pertanian dan perkebunan, baginya merupakan masalah terbesar warga yang mesti ditangani segera.
Pasalnya, peningkatan jalan usaha tani itu tidak hanya mendukung petani untuk mengangkut hasil-hasil pertanian dan perkebunannya. Kehadirannya juga mendukung ketahanan pangan masyarakat di kampung dan daerah.
“Indonesia ini sebenarnya sudah krisis. Resesi ekonomi membuat negara bisa tumbang. Tapi kehidupan masyarakat tampaknya terlihat berjalan normal karena memang memiliki ketahanan pangan yang mencukupi,” jelasnya.
Selain membantu perekonomian warga dan penunjang ketahanan pangan, jalan usaha tani menjadi prioritas yang mesti ditangani, mengingat 75 persen warga Suaran berprofesi sebagai pekebun sawit dan kakao.
“Kenapa jalan usaha tani saya lebih respons, karena masih lambannya respons pemerintah walau sebenarnya selalu disinggung setiap kali Musrenbang,” tegasnya.
Kendati demikian hal itu tidak hanya menjadi kelalaian semata-mata Pemda. Pihak ketiga, investor tambang yang membangun usaha tambangnya di wilayah itu juga mesti bertanggung jawab.
“Keberadaan pihak ketiga, di suatu daerah seharusnya bisa menyejahterahkan masyarakatnya. Bukan sebaliknya membatasi ruang gerak masyarakat sehingga ekonomi mereka tidak bisa berjalan,” singgungnya.
Karena itu, pembangunan sarana prasarana atau fasilitas pendukung di bidang pertanian dan perkebunan ini harus dijamin. Sebab, masyarakat tidak mungkin menjalankan aktivitas di kebunnya melewati jalan tambang yang berbahaya dan riskan.
“Jangan sampai, potensi alam kita dikeroyok, tapi masyarakat di sekitarnya menderita. Itu nah, ada apa?”
Kehadiran tambang juga seharusnya bisa berkolaborasi dengan BUMK agar mampu menunjang dan memperkuat ekonomi warga termasuk ketahanan pangan masyarakat Suaran.
Problemnya, Perda Berau yang mengatur hal itu belum ada. Kendala regulasi ini pada akhirnya menyebabkan kehadiran tambang hanya bisa memperdayai masyarakat, bukan sebaliknya memberdayakan mereka.
“Contoh, ikan. Ibu-ibu bisa diberdayakan dalam catering, atau pihak pertambangan bisa kerja sama dengan BUMK. Sekarang CSR-nya saja tidak jelas,”
Madri pun memastikan untuk membantu warga meningkatkan jalan usaha pertanian dan perkebunan masyarakat Suaran dengan meminta bantuan Dinas Pertanian dan Perkebunan. Selain itu, Madri berjanji akan menyelesaikan persoalan itu pada APBD Perubahan.
“Di perubahan, akan saya tuntaskan jalan usaha tani,” janjinya.
Atas janji itu, warga Suaran pun telah menyerahkan proposal peningkatan jalan usaha tani dan perkebunan, guna mempertahankan ketahanan pangan di kampungnya, di wilayah lingkar tambang Ring 1 tersebut.
Kedua, akses jalan menuju sekolah. Meskipun jalan usaha tani yang ingin dibantunya, pendidikan juga tetap menjadi perhatiannya.
“Soal pendidikan, saya juga dari dulu teriak-teriak. Tapi bukankah 20 persen dari APBD dianggarkan untuk pendidikan? Itu semestinya sudah menjadi kewenangan dinas terkait,” tegasnya.
Hanya anehnya, masih ada saja sekolah yang satu dua jam dari kota, fasilitas pendidikannya terbengkelai. Di Suaran sendiri, terdapat 900 jumlah siswa/i SD.
“Ada satu sekolah. Fasilitas pendidikan di sekolah itu sudah ada, Tapi akses jalannya belum ada.
Dalam Musrenbang, saya juga sudah pertanyakan apakah sudah ada evaluasi terkait hal itu? Jangan sampai ada anak-anak miskin yang tidak sekolah setelah lulus gara-gara pemetaan sistem zona,” tegasnya. (*/Hbp)